Haji Misbach: Ulama Revolusioner dan Pelopor Pers Islam di Surakarta

Di tengah riuhnya pergerakan nasional Indonesia pada awal abad ke-20, muncul seorang tokoh ulama yang tidak hanya berdakwah dari mimbar masjid, tetapi juga melalui pena dan aksi-aksi radikalnya. Beliau adalah Kiai Haji Misbach, atau lebih dikenal dengan nama pena Haji Misbach. Lahir dengan nama Darmo Soegondo pada tahun 1876 di Kauman, Surakarta, Haji Misbach adalah figur multidimensional: seorang ulama, jurnalis, aktivis sosial, sekaligus pemikir revolusioner yang gigih menyuarakan keadilan dan kemerdekaan.

Jejak Awal dan Pendidikan

Haji Misbach berasal dari keluarga santri di lingkungan Kauman, pusat keagamaan di Surakarta. Pendidikan agamanya dimulai dari lingkungan keluarga dan pesantren-pesantren lokal. Ia tumbuh besar dalam suasana masyarakat Jawa yang kental dengan feodalisme keraton dan penjajahan Belanda. Pengalaman ini membentuk pandangan kritisnya terhadap ketidakadilan dan penindasan.

Namun, tidak hanya ilmu agama yang ia geluti. Haji Misbach juga memiliki ketertarikan besar pada dunia tulis-menulis dan jurnalistik. Ini menjadi modal penting baginya untuk menyebarkan ide-ide dan gagasan-gagasannya kepada masyarakat luas.

Ulama Pergerakan dan Jurnalis Islam

Apa yang membedakan Haji Misbach dari ulama sezamannya adalah keberaniannya untuk tidak hanya berkhotbah di masjid, tetapi juga terjun langsung dalam arena pergerakan sosial dan politik. Ia melihat bahwa dakwah tidak hanya sebatas ritual keagamaan, melainkan juga harus menyentuh ranah sosial, ekonomi, dan politik demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Haji Misbach adalah salah satu pelopor pers Islam di Indonesia. Ia menggunakan media massa sebagai alat perjuangan yang efektif. Beberapa surat kabar dan majalah yang pernah ia pimpin atau berkontribusi di dalamnya antara lain:

  • Medan Moeslimin: Majalah ini menjadi corong utama bagi pemikirannya. Melalui Medan Moeslimin, Haji Misbach mengkritik keras kolonialisme Belanda, feodalisme, kapitalisme, dan bahkan praktik-praktik keagamaan yang dianggapnya tidak sejalan dengan semangat Islam yang membebaskan.

  • Islam Bergerak: Surat kabar ini juga menjadi wadah penting bagi penyebaran ide-ide revolusioner Haji Misbach dan rekan-rekannya.

  • Najat: Majalah lainnya yang ikut menyuarakan pembaruan dalam Islam dan semangat perlawanan.

Melalui tulisan-tulisannya, Haji Misbach memperkenalkan gagasan-gagasan yang pada masanya dianggap sangat progresif, bahkan radikal. Ia menyerukan kesetaraan, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Ia juga lantang mengkritik kaum priyayi yang bersikap kolaboratif dengan Belanda dan para ulama yang dianggapnya jumud dan tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Pemikiran Revolusioner: Islam, Sosialisme, dan Kemerdekaan

Salah satu aspek paling menarik dari Haji Misbach adalah perpaduan pemikiran Islam dengan gagasan sosialisme. Ia percaya bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan sosial, persamaan hak, dan perjuangan melawan kemiskinan dan penindasan. Baginya, sosialisme bukanlah ideologi asing yang bertentangan dengan Islam, melainkan justru sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang memihak kaum tertindas.

Haji Misbach seringkali disebut sebagai "ulama merah" karena kedekatannya dengan ide-ide sosialisme dan pergerakan kaum buruh. Ia bahkan pernah terlibat dalam Sarekat Islam Merah, faksi radikal dari Sarekat Islam yang menuntut perubahan lebih cepat dan mendalam. Pandangannya yang tajam dan sikapnya yang tidak kompromi terhadap kolonialisme membuatnya sering berhadapan dengan pemerintah Belanda.

Ia mengartikan "jihad" tidak hanya sebagai perang fisik, tetapi juga sebagai perjuangan intelektual dan sosial untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Baginya, kaum muslimin wajib berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan penindasan ekonomi.


Pengasingan dan Wafatnya

Akibat pemikirannya yang radikal dan aktivitasnya yang terus-menerus mengancam stabilitas kekuasaan Belanda, Haji Misbach berulang kali ditangkap dan dipenjara. Puncaknya, pada tahun 1926, ia diasingkan ke Manokwari, Papua, oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengasingan ini adalah upaya Belanda untuk membungkam suaranya dan memutus pengaruhnya terhadap pergerakan nasional.

Di Manokwari, dalam kondisi yang serba terbatas, Haji Misbach meninggal dunia pada tahun 1926, tak lama setelah pengasingannya. Jenazahnya dimakamkan di sana.

Warisan Haji Misbach

Meskipun namanya mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, Haji Misbach meninggalkan warisan pemikiran dan perjuangan yang tak ternilai. Ia adalah bukti bahwa Islam dapat menjadi kekuatan pendorong untuk perubahan sosial dan politik. Keberaniannya menyuarakan keadilan, kritiknya terhadap kolonialisme dan ketidakadilan, serta pemanfaatan media massa sebagai alat perjuangan, menjadikannya salah satu ulama paling progresif pada zamannya.

Haji Misbach adalah simbol persatuan antara semangat keagamaan yang mendalam dengan kesadaran sosial-politik yang tinggi. Ia mengajarkan bahwa iman harus mendorong kita untuk berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan di muka bumi, melawan segala bentuk penindasan, dan mewujudkan masyarakat yang makmur dan bermartabat. Namanya tetap relevan sebagai inspirasi bagi para aktivis dan intelektual Muslim yang ingin mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan perjuangan untuk keadilan sosial.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close